Manakah yang lebih mulia antara orang
miskin yang bersabar atau orang kaya yang bersyukur? Orang miskin yang
beriman dapat masuk surga sekian ratus tahun lebih cepat daripada orang
kaya. Tapi itu jika mengabaikan faktor lain seperti apakah orang miskin
sudah pasti tidak punya dosa? Belum lagi, orang miskin juga belum tentu
bebas dari berbagai sifat hasad (iri dan dengki) misalnya, sombong, dan
berbagai sifat ‘manusiawi’ lainnya.
Selain itu, ketidak-ikhlasan dan riya
terhadap orang lain bisa saja dimiliki oleh orang yang tidak beramal.
Artinya, sangat sering orang miskin dipenuhi kecurigaan dalam melihat
amal orang kaya. Bahkan dalam diri orang miskin pun bisa bercokol
kesombongan, dan itulah kesombongan yang paling dibenci Allah.
Tidak sedikit pula manusia yang jebol
pertahanannya karena kemiskinan, mengambil milik orang lain, mencuri,
terjerumus pada dunia hitam, menjual diri (melacur), maupun kehinaan
lainnya, sebagaimana sajak WS Rendra:
Seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
Meski begitu, pintu-pintu kebaikan tidak tertutup sama sekali bagi orang-orang miskin. Karena dzikir, tasbih, tahmid, takbir dan
dzikir lainnya dapat menjadi sedekah bagi orang-orang yang tidak mampu
bersedekah dengan harta. Kesabaran menjalani hidup dalam kekurangan juga
merupakan keutamaan. Dikisahkan, segolongan sahabat yang miskin datang
kepada Rasulullah. Mereka mengeluh karena keadaan yang membelit tidak
memungkinkan mereka untuk beramal sebagaimana orang-orang kaya beramal
dengan harta mereka.
Oleh Rasulullah, kepada golongan papa tersebut diajarkan agar setiap selesai shalat membaca tasbih, tahmid dan takbir 100
kali, yang keutamaannya menyamai infaq dan shadaqah yang dikeluarkan
orang-orang kaya. Pulanglah para fuqara tersebut dan mengamalkan dzikir
itu setiap selesai shalat mereka.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang
kaya dari para sahabat pun mengetahui keutamaan dzikir atau wirid yang
Rasulullah ajarkan untuk diamalkan selesai shalat. Mereka pun berdzikir
sama seperti dzikir orang-orang miskin tersebut. Kembalilah para fuqara
kepada Rasulullah dan mengadu, bahwa orang-orang kaya telah berdzikir
dengan wirid yang sama. Dengan demikian artinya lagi-lagi golongan
miskin kalah daripada golongan kaya dalam hal amal kebaikan.
Sabda Rasulullah mengenai hal tersebut:
“Itulah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya.”
(Hadits Muttafaqun ‘Alaih).
Mengapa Kita Harus Kaya?
Banyak sekali jawaban
untuk satu pertanyaan tersebut. Dengan uang, banyak hal menjadi mudah.
Dengan uang, ibadah-ibadah seperti haji, umrah, qurban, aqiqah dan
sebagainya kita tunaikan. Demikian juga halnya dengan pembayaran zakat,
fidyah, kafarah, membebaskan budak, menyantuni faqir miskin dan
menafkahi anak yatim.
Hingga zaman ini masih banyak masyarakat
yang terjerat hutang pada lintah darat (rentenir). Hal itu terpaksa
mereka tempuh karena melihat bahwa itu adalah satu-satunya solusi
–karena ketidaktahuan atau karena terlanjur terjebak. Alangkah baiknya
jika kita mampu memberi solusi untuk mereka melepaskan diri dari jeratan
hutang bunga berbunga tersebut. Tentunya untuk itu diperlukan modal
yang cukup. Artinya, lagi-lagi itu adalah masalah uang.
Tidak sedikit di antara kita yang suatu
kali dimintai tolong oleh teman; pinjam uang. Bagaimana perasaan kita
ketika pada waktu kawan dekat, tetangga atau saudara kita itu begitu
butuh bantuan, tetapi pada saat yang sama kita tidak bisa membantu?
Misalnya ketika tetangga atau teman dekat terkena musibah, persiapan
nikah, persalinan di rumah sakit, membayar hutang yang jatuh tempo dan
sebagainya. Kita pasti merasa trenyuh, malu dan sekaligus
merasa bersalah jika tidak bisa membantu mereka. Lain halnya jika kita
ada uang untuk membantu mereka, sebagai manusia normal pastilah batin
kita merasa senang bisa membantu teman, membantu meringankan beban
mereka meski sedikit.
Harus kita akui bahwa begitu banyak
persoalan yang berpangkal pada kemiskinan. Di antaranya kebodohan,
tindak kriminal, pelacuran dan sebagainya. Karena orangtua miskin,
anak-anak tidak bisa bersekolah, dan karenanya mereka tetap dalam
keadaan bodoh, karena kebodohan itu maka mereka tidak dapat meraih
pekerjaan yang baik, akhirnya mereka terus-menerus berkubang dalam
kemiskinan. Itulah lingkaran setan antara kemiskinan dan kebodohan.
Begitu juga dengan besarnya angka kriminalitas karena faktor ekonomi,
seperti pencurian, penodongan, perampokan dan sebagainya. Bahkan karena
alasan miskin, tidak sedikit yang terjerumus ke dalam pelacuran. Na’udzubillah. Hal itu sepertinya sudah menjadi kesimpulan umum mengenai dampak negatif akibat kemiskinan.
Keutamaan Muslim Kaya
Dalam hadits yang agak
panjang di atas telah jelas kiranya keutamaan orang-orang mukmin yang
kaya, yang dengan hartanya tersebut dapat mengerjakan amal ibadah yang
lebih dibanding dari orang-orang mukmin dari golongan miskin.
Itulah kekayaan yang mendatangkan kebaikan. Kekayaan yang tidak
ditahan-tahan dengan kepelitan, takut miskin atau kekufuran terhadap
Allah Sang Maha Pemberi. Orang-orang seperti itulah yang harus membuat
orang-orang miskin terpacu. Bahkan ‘iri’ dalam konteks yang demikian
diperbolehkan. Tidak boleh ada rasa iri kecuali dalam dua hal, yaitu:- Seseorang yang Allah karuniai kekayaan kemudian dibelanjakan pada jalan yang haq
- Seseorang yang Allah karuniai hikmah (ilmu), dia amalkan dan mengajarkannya. (Hadits Muttafaq ‘Alaih).
Dalam koridor itulah kekayaan menjadi
keutamaan dan menambah kedekatan di sisi Allah. Kekayaan yang mampu
menyelamatkan manusia dari api neraka. Kekayaan yang bermanfaat bagi
kehidupan dan sesama, menyelamatkan orang-orang miskin dari jurang
kehinaan dan lembah hitam. Mencegah mereka yang karena amat miskinnya
sehingga terpaksa atau tergoda untuk menjual kehormatan, menempuh jalan
yang haram, menyakiti sesama, mengambil hak milik orang lain dan
berbagai pelanggaran lain.
Jika orang-orang kaya bersikap
sebagaimana seharusnya, mendatangkan banyak kemaslahatan dan
meminimalkan atau menetralisir berbagai potensi kejahatan, maka mereka
insya Allah menjadi golongan yang lebih dicintai Allah.