Dan sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus.
Maka ikutilah! Janganlah kamu ikuti jalan-jalan (yang lain) yang akan
mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Demikianlah Dia memerintahkan
kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam: 153)
Pada buletin edisi ke 14 kemarin, kita telah membahas secara singkat
cara memahami islam yang benar, yakni berpedoman dengan al-qur’an
dan as-sunnah menurut pemahaman salafush shalih. Dan pada buletin kali
ini kami akan melanjutkan pembahasan lanjutan edisi minggu lalu.
JALAN SELAMAT HANYA ADA SATU (yakni dengan mengikuti jejak
para salafush shalih)
Saudaraku yang semoga dimuliakan Allah,
Jalan keselamatan hanya akan ada satu, yaitu jalan yang telah dilalui
generasi terbaik dari umat ini, mereka adalah generasi yang hidup
sejaman dengan Rasulullah yakni para sahabat, kemudian generasi
setelahnya yakni para tabi’in, kemudian generasi setelahnya yakni para
tabi’ut tabi’in.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Sebaik-baik umat ini adalah generasiku (para sahabat),
kemudian orang-orang yang mengikuti mereka (para tabi’in), kemudian
orang yang mengikuti mereka (para tabi’ut tabi’in).”
(Muttafaqun ‘alaihi/ HR. Bukhari, Muslim)
Mereka adalah 3 generasi utama yang telah mendapat petunjuk dan ridha
Allah, serta mereka telah mendapat jaminan surga. Barangsiapa yang
mengikuti jejaknya, maka sesungguhnya dia telah menempuh jalan
keselamatan.
Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
pernah membuat garis (lurus) dengan tangannya, lalu beliau bersabda, “Inilah
jalanku yang lurus.’ Lalu beliau membuat garis-garis di kanan kirinya, kemudian
beliau bersabda,’ Ini adalah jalan-jalan yang sesat, tak satu
pun dari jalan-jalan ini kecuali di dalamnya terdapat setan yang menyeru
kepadanya.” (Hadits shahih, riwayat Ahmad dan Nasa’i)
Hadits diatas menunjukkan bahwa umat Islam ini akan dihadapkan dengan
banyak sekali jalan, ada jalan yang melenceng ke kanan dan ada yang ke
kiri, ada pula jalan yang miring akan tetapi seakan-akan terlihat lurus.
Dan diantara banyak jalan yang miring itu ada 1 jalan yang lurus, bagi
orang yang ingin melewati jalan tersebut harus dengan ilmu, harus dengan
kehati-hatian. Akan banyak sekali rintangan yang berusaha menghambat
jalan tersebut. Jalan yang lurus Itulah jalan yang telah dilalui oleh
Rasulullah dan para salafush shalih.
Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Barangsiapa
diantara kalian yang ingin meneladani, hendaklah meneladani para
Sahabat Rasulullah r. Karena sesungguhnya
mereka adalah ummat yang paling baik hatinya, paling dalam ilmunya,
paling sedikit bebannya, paling lurus petunjuknya, dan paling baik
keadaannya. Suatu kaum yang Allah telah memilih mereka untuk menemani
Nabi-Nya dan untuk menegakkan agama-Nya, maka kenalilah
keutamaan mereka serta ikutilah jejak langkahnya, karena mereka berada
di atas jalan yang lurus.” (Atsar shahih, diriwayatkan
oleh Ibnu ‘Abdil Naar, dalam Jaami’ Bayaanil ‘Ilmi wa Fadhlih (II/947
no.1810)
Imam Malik bin Anas (gurunya imam Asy-Syafi’i) berkata, “Generasi
akhir umat ini tidak bisa menjadi baik kecuali dengan mengikuti
generasi pertama mereka (para sahabat).” (Sya-Syifa,
Qadhi ’Iyadh, II:88)
Imam Ahmad (murid imam Asy-Syafi’i) berkata, “Pondasi
sunnah ,menurut kami adalah berpegang teguh kepada para sahabat dan
meneladani mereka.” (dalam Al-Lalika’i, hal. 317)
Saudaraku yang semoga dimuliakan Allah,
Terkadang diantara kita ada yang berpendapat “Ya boleh-boleh saja
orang berpengangan dengan pemahaman apa saja, yang penting merujuk
kepada Al-Qur’an dan Sunnah” terkadang ada juga yang berkata “Jalan
apa saja boleh ditempuh, asal tujuan kita sama, yakni mencari ridha
Allah”
Saudaraku, Seseorang yang telah merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah
belum tentu mengikuti pemahaman (cara beribadahnya) para sahabat.
Bukankah telah kita saksikan, banyak sekali kelompok-kelompok yang
mengusung panji Islam, tetapi pada hakikatnya dia menyimpang? Lihat saja
orang-orang yang berpemahaman khawarij. Dari pakaiannya sudah sesuai
dengan sunnah, memanjangkan jenggot, tidak isbal (tidak memanjangkan
celana di bawah mata kaki), yang wanitanya juga berjilbab sesuai syar’i,
bahkan ada yang memakai cadar. Subhanallah, apa yang mereka
lakukan itu adalah sunnah yang mulia. Akan tetapi mereka mengamalkan
Al-Qur’an dan Sunnah tidak merujuk sesuai dengan pemahaman salafush
shalih. Mereka mengamalkan Al-Qur’an dan Sunnah sesuai dengan pemahaman
mereka sendiri atau guru-guru mereka. Sehingga dengan pemahamannya yang
menyimpang itu, mereka mengkafirkan saudara muslim lainnya tanpa ada
bukti, menghalalkan darahnya, sehingga tidak sedikit diantara mereka
yang terjerumus ke dalam irhab (teror), melakukan pengeboman di
sana-sini (lihat edisi 11).
Lihatlah, itu adalah contoh orang yang memahami Al-Qur’an dan Sunnah
(hadits) tetapi tidak merujuk sesuai pemahaman salafush shalih.
Orang-orang khawarij dijaman Nabi dulu, mereka adalah ahli ibadah,
bahkan ibadah para Sahabat Nabi jika dibanding dengan ibadahnya
orang-orang khawarij tidak ada apa-apanya. Akan tetapi mereka
(orang-orang khawarij) beribadah tanpa ilmu.
Sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam tentang khawarij, Beliau Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
“Akan datang suatu kaum pada kalian yang kalian akan
memandang rendah shalat kalian dibandingkan dengan shalat mereka, puasa
kalian dibandingkan dengan puasa mereka, amal-amal kalian dibanding
dengan amal-amal mereka. Mereka membaca Al Qur’an (tapi)
tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka lepas dari agama ini seperti
lepasnya anak panah dari buruan.”(HR. Bukhari nomor
5058 dan Muslim nomor 147/1064)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa
mereka banyak membaca Al Qur’an tetapi beliau sendiri mencela mereka,
mengapa demikian? Karena mereka tidak paham tentang Al Qur’an. Mereka
mencoba memahami sendiri Al Qur’an dengan akal-akal mereka. Mereka
enggan belajar kepada para shahabat.
Maka dari itu Ibnu Abbas berkata : “Aku datang dari sisi kaum
Muhajirin dan Anshar serta menantu Nabi. Al Qur’an
turun kepada mereka (para sahabat). Dan mereka lebih tahu tentang
tafsirnya dari (pada) kalian.”
Maka hendaknya seseorang itu merasa takut kepada Allah, jangan
menafsirkan ayat seenaknya sendiri tanpa di dasari keterangan dari para
ulama Ahli Tafsir yang merujuk pada pemahaman salafush shalih.
HATI-HATI DENGAN TAKLID (mengekor/ikut-ikutan)
Salah satu sebab terjadinya penyimpangan adalah taklid buta, yaitu
sekedar ikut-ikutan tanpa mengetahui dalilnya.
Alhamdulillah Allah telah memudahkan kita dalam beragama, dengan
munculnya para Imam madzhab, ada banyak Imam madzhab, tetapi yang paling
banyak digunakan kaum muslimin di dunia 4 madzhab, yakni madzhab
Hanifah (Imam Abu Hanifah), madzhab Maliki (Imam Malik), madzhab Syafi’I
(Imam Asy-Syafi’i), dan madzhab Hanbali (Imam Ahmad bin Hanbal). Mereka
adalah imam-imam Ahlussunnah dan akidah mereka lurus.
Permasalahan ditengah kita, terkadang ada yang yang merasa bahwa
madzhabnya lah yang paling benar, sedang yang lain tidak sesuai. Bahkan
jika perkataan Imam madzhab ada yang bertentangan dengan Al Qur’an
maupun hadits, kita tetap mengikutinya.
Saudaraku yang semoga dimuliakan Allah,
Itulah yang namanya taklid, ikut-ikutan tetapi tidak melihat apakah
yang diikuti itu bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits atau tidak.
Para Imam madzhab adalah orang yang telah banyak berjasa bagi umat
Islam ini, ilmu mereka luas, dan akidah mereka lurus. Akan tetapi mereka
juga manusia biasa, yang kadang benar, dan kadang juga bisa salah. Maka
para Imam madzhab pun telah berkata di dalam kitab-kitab mereka, jika
ada pendapat mereka yang bertenangan dengan Al Qur’an maupun hadits,
maka wajib ditinggalkan.
Imam Abu Hanifah berkata, “Jika aku mengatakan
suatu perkataan yang bertentangan dengan kitab Allah dan kabar
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah
perkataanku”. (Al-Fulani di dalam Al-lqazh, hal. 50)
Imam Malik berkata, “Sesungguhnya aku ini
hanyalah seorang manusia yang salah dan benar. Maka perhatikanlah
pendapatku. Setiap pendapat yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah,
ambillah dan setiap yang tidak sesuai dengan Al Kitab dan Sunnah,
tinggalkanlah”. (Ibnu Abdil Barr di dalam Al-Jami’, 2/32)
Imam Asy-Syafi’I berkata, ”Apabila kamu
mendapatkan di dalam kitabku apa yang bertentangan dengan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka berkatalah dengan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tinggalkanlah apa yang aku
katakan.” (Al-Harawi di dalam Dzammul Kalam,3/47/1)
Imam Ahmad bin Hanbal berkata, “Janganlah
engkau mengikuti aku dan jangan pula engkau mengikuti Malik, Syafi’i,
Auza’i dan Tsauri, Tapi ambillah dari mana mereka mengambil.”
(Al-Fulani, 113 dan Ibnul Qayyim di dalam Al-I’lam, 2/302)
Saudaraku, mereka para Imam madzhab telah memberi peringatan kepada
kita, agar kita jangan taklid buta kepada mereka. Dan itu pula yang
diajarkan oleh para ulama, agar kita berjalan mengikuti jalannya para
salafush shalih. Tidak ada alasan bagi kita untuk mengatakan “Ini
bukan madzhabku”, “ini adalah madzhab mu” ingat saudaraku,
kita boleh mengambil pendapat imam yang mana saja jika memang pendapat
itu tidak bertentangan dengan Al Qur’an maupun hadits, akan tetapi jika
pendapat mereka ada yang bertentangan dengan Al Qur’an maupun hadits
maka sekali lagi wajib bagi kita untuk meninggalkannya.
Kesimpulannya, Jika kita mendapat suatu amalan/ilmu tentang
agama, maka wajib bagi kita untuk mengembalikannya kepada
Rasulullah, maksudnya di teliti kembali, apakah pernah dikerjakan
Rasulullah dan para sahabatnya atau tidak, jika ia, maka silakan
diamalkan, tetapi jika tidak maka kewajiban kita untuk meninggalkannya
Semoga pembahasan kali ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua.
Semoga Allah senantiasa mencurahkan nikmat iman, nikmat Islam dan nikmat
sunnah kepada kita sekalian. Aamin
wallahu ta’ala a’lam